Aku, Ruby dan
Kartini
Oleh: Meti Nurin Yulia Amin
Kebebasan adalah buah pikiran untuk maju. Bebas
berarti berhak melakukan apa saja yang diinginkan, melakukan apa saja yang
mampu menimbulkan perasaan bahagia. Manusia tidak sama dengan burung yang bebas
terbang di langit karena mempunyai sayap. Manusia hidup di daratan, sama dengan
halnya burung yang hidup di sangkar. Burung yang hidup di sangkar tidak bebas
terbang seperti di langit. Mereka terperangkap. Mereka tidak bahagia. Bukanya
setiap orang berhak bahagia dan mendapatkan kebebasan ? Berbeda itu indah, ya
memang indah. Tapi realitanya kenapa tidak ? Kenapa ada perbedaan antara
perempuan dan laki-laki? Kenapa perempuan tidak bisa bebas melakukan apa yang
diinginkan seperti laki-laki ? Kenapa perempuan tidak boleh bermain sepak bola
seperti laki-laki ? Bermain sepak bola menyehatkan bukan ? Ini semua sampah.
Belenggu dan keterbatasan inilah yang membuat perbedaan itu tidak indah.
***
Aku adalah Raden Ayu Kencana Maspati. Raden Ayu
sebenarnya bukanlah namaku, Raden Ayu adalah gelar resmi dari keluarga keraton.
Nama asliku Kencana Maspati. Ya, aku memang mempunyai darah keturunan keluarga
keraton Solo. Di daerah Solo, keluargaku cukup dihormati. Sebagai pembesar,
orangtuaku memegang teguh adat-istiadat dan kebudayaan Jawa. Orangtuaku sangat
kaku dan keras. Kurang bisa diajak bermusyawarah dan terlalu otoriter. Gaya
lama ini tidak lain dan tidak bukan adalah perwujudan pengasuhan anak yang
masih kuno dan ketinggalan zaman.
Kehidupan masa kecilku berjalan dengan baik sekali,
meski Ayah mendidikku dengan keras di rumah. Zaman modern memang sudah memasuki
kehidupan daerah Solo, tetapi Ayah dan Ibu tetap saja memberikan pengajaran dan
pengasuhan yang ketinggalan zaman kepadaku. Meski begitu, aku tumbuh menjadi
gadis Jawa yang anggun, sesuai dengan gelar darah yang disandang keluargaku. Usiaku
bertambah dan aku sekarang duduk di bangku SMP. Aku tidak menduga bahwa ini
adalah akhir pendidikanku.
Aku dan Ayah terlibat pembicaraan serius.
“Kencana, ini tentang kehidupan masa depanmu,” kata
Ayahanda kepadaku. “Ada apa, Ayah?” tanyaku
“Ayah sudah berbicara dengan ibumu, dan ibumu setuju
dengan keputusan Ayah. Kamu tidak usah melanjutkan pendidikanmu ke SMA”.
“Memang kenapa, Yah ?”
“Ini sudah menjadi kebiasaan dan adat-istiadat kita.
Perempuan tidak perlu bersekolah terlalu tinggi. Perempuan hanya perlu tahu
cara mengurus anak dan keluarga. Bukankah dari kecil mbahmu sering berkata
begitu”, kata Ayah
“Iya Ayah, Kencana tahu, Kencana paham hal itu”.
Kencana berkata dengan nada yang tegas. “Tapi sekarangkan sudah berbeda.
Semestinya anak perempuan sekarang sudah boleh bersekolah, sudah boleh berkerja.
Kencana tahu itu kebiasaan adat-istiadat kita, tapi tidak salahnya berubah
bukan?”
“Kencana, cukup! Kamu jangan sok tahu. Anak kecil
seperti kamu tahu apa?”, potong Ayahnya
“Kencana tidak sok tahu, Yah. Kencana hanya
mengatakan apa yang Kencana inginkan, dan Kencana masih ingin bersekolah, Yah.”
“Sudah, kamu jangan melawan. Ayah sudah meminta
pamanmu untuk mencarikan calon suami buatmu. Selulus dari SMP, kamu akan
menikah. Itu sudah keputusan Ayah dan Ibu.”
“Apa? Menikah? Kencana tidak mau, Yah. Kencana masih
ingin sekolah.”, rengeku pada Ayah
“Sudah cukup, sekarang kamu masuk ke dalam.”, bentak
Ayah
“Tapi, Yah.”
“Kencana! Kamu tidak dengar apa kata Ayahandamu ini,
masuk ke dalam!”, bentaknya kepadaku
Aku berhenti bersikeras. Meski dengan muka merengut,
aku tetap patuh pada Ayah. Aku pergi dan mengadu kepada Ibu.
“Bu, Kencana tidak mau menikah. Kencana masih
terlalu muda untuk menikah dan mengurus keluarga. Kencana masih ingin belajar.
Kencana ingin sekolah, bu.”, rengeku pada Ibu
“Sudah sayang, Ibu mengerti. Ibu tahu Kencana masih
ingin bersekolah, tapi ini sudah keputusan Ayahandamu. Dan kamu harus
menurutinya.”, kata Ibu lembut sambil membelai rambutku
“Kencana tetap tidak mau, Ibu”.
Aku berlari meninggalkan Ibu, dan mengunci diri di
kamar. Jadilah aku bagai burung dalam sangkar. Burung yang sangat merindukan
kebebasan untuk terbang. Aku ingin bebas melakukan apa yang aku ingin lakukan.
Aku ingin bebas.
Ya, bagaimanapun juga, hari tetap berjalan. Dan aku
sudah duduk di kelas IX sekarang. Apa yang dikatakan Ayah benar adanya, Paman
benar-benar mencarikan calon suami untukku. Dan hari pernikahanku pun sudah
mulai dekat. Aku tidak mampu menolak. Aku menuruti kemauan Ayahku. Dan setelah
lulus SMP pun aku menikah.
Mendengar ceritaku, tiba-tiba seorang siswa di
bagian belakang ruangan mengangkat tangannya dan berkata, “Maaf Ibu ! Boleh
saya bertanya ?”
“Ya, silahkan”.
“Ibu sekarangkan sudah menjadi guru kami, bagaimana
ibu melanjutkan studi ibu? Padahal tadi Ibu berkata, ibu tidak diperbolehkan melanjutkan
sekolahnya ke SMA’.
“Iya benar sekali, pertanyaanmu sangat cerdas. Alhamdulillah, ibu mendapatkan suami
yang berpikiran maju dan bisa bertoleransi. Beliau memperbolehkan ibu untuk
melanjutkan studi ibu, tapi dengan satu syarat, ibu tidak boleh melupakan dan meninggalkan
kewajiban ibu sebagai istri beliau. Jadi, ibu langsung memilih SMA SPG, sekolah
untuk keguruan pada zaman itu.”, jelasku pada anak seluruh kelas.
Suasana kelas menjadi riuh, anak-anak berteriak
“cie” dan ada pula yang bersiul.
***
Sudah dari semalam aku browsing dan membaca referensi mengenai emansipasi wanita. Dari
yang aku baca, emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
sejumlah usaha untuk mendapatkan hak individunya, maupun persamaan derajat.
Jadi, emansipasi wanita berarti usaha untuk mendapatkan hak suara wanita. Ya,
dengan begini aku siap memberikan pelajaran pada siswa-siswiku di kelas.
Hari ini tepat tanggal 21 April, memperingati Hari
Kartini. Oleh karena itu tidak salahnya aku membagi cerita mengenai diriku, dan
mengenai pahlawan wanita lainnya kepada siswa-siswiku.
Tiba-tiba, seorang siswi yang duduk di pojok kanan
ruangan mengangkat tangan, “Maaf, bu boleh saya minta waktu lima belas menit
untuk bercerita sedikit, bu? Ini tentang kenyataan yang saya alami sendiri. Cerita
saya bisa memperkuat teori ibu tersebut.”, pintanya
“Baik, nama kamu Ruby ya?”
“Iya, bu.”
Gadis itu mulai bercerita. Cerita yang sama denganku
dan penuh inspirasi.
Rr. Ruby Susuhanan begitu nama lengkapnya. Sama
denganku. Ruby terlahir dari turunan keluarga ningrat dan terpandang di daerah
Solo. Ayahnya juga sama dengan ayahku, memegang teguh adat-istiadat keluarga,
otoriter, dan keras dalam mengasuh Ruby. Di bangku SD Ruby pernah mendengar
cerita tentang pahlawan wanita, R.A. Kartini. Cerita yang ia dengar ini perlahan
mengilhaminya untuk mulai menyadari bahwa ia perlu melakukan sesuatu demi
dirinya sendiri.
R.A. Kartini tercatat sebagai orang yang giat
mengedepankan keadilan gender dan emansipasi wanita. Lahir dan tumbuh di
lingkungan yang sangat kental akan adat-istiadat Jawa. R.A Kartini awalnya juga
terkekang oleh aturan ketinggalan zaman, yaitu perempuan tidak boleh menempuh
pendidikan tinggi dan harus berdiam diri dirumah mengurus keluarga. Namun
berkat kerja keras dan kegigihannya, serta surat-suratnya bersama teman penanya
Stella – seorang Belanda, dan surat lainnya yang telah dibukukan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, R.A.
Kartini menyadari bahwa perlu adanya pergerakan pada dirinya. Beliau mendirikan
sekolah-sekolah untuk rakyat dan wanita. Dengan begitu wanita dan rakyat jelata
di zamannya dapat merasakan duduk di bangku sekolah, begitu juga sampai
sekarang. Namun sayang, umur R.A. Kartini tidaklah panjang. Beliau dipanggil
pada usia yang sangat muda.
Ruby bercerita bahwa ia juga dilarang oleh Ayahnya
untuk melanjutkan SMA. Dan ia menuruti perkataanya Ayahnya itu. Setelah lulus
SMP, Ruby benar-benar tidak melanjutkan sekolah dan hanya berdiam diri dirumah
mengerjakan dan belajar menjadi perempuan yang baik dan ibu rumah tangga yang
baik.
***
Suasana kelas hening. Yang terdengar hanya riuh di
kelas sebelah. Akupun prihatin mendengar penuturan Ruby. Aku kira kisah seperti
itu hanya terjadi pada zaman dulu, zamanku, zaman R.A. Kartini tidak zaman
sekarang, zamannya Ruby.
“Baik terimaksih Ruby, cerita kamu barusan membantu
kita disini untuk lebih memahami pelaksanaan dan niai-nilai emansipasi wanita
pada zaman sekarang ini.”, kataku
Tiba-tiba ada siswi yang bertanya, “Lalu bagaimana
bisa kamu sekarang bersekolah?”
“Bagaimana Ruby, apakah kamu masih ingin berbagi
cerita?”, tanyaku
“Tidak apa-apa, bu. Biar saya lanjutkan.”, katanya
“Mungkin teman-teman bertanya kenapa sekarang saya
boleh bersekolah? Saya saja tidak tahu bagaimana merasakanya. Entah saya harus
senang atau sedih bisa bersekolah. Karena beberapa bulan setelah ayah saya
meminta saya untuk tidak melanjutkan sekolah, kesehatan ayah saya menurun
akibat penyumbatan pembuluh jantung yang dideritanya. Dan tidak lama kemudian,
beliau wafat. Tragis ya, aku bisa bersekolah karena ayahku sudah meninggal.”
Kalimatnya berakhir dengan gemetaran.
Ini lebih menyakitkan, diumurnya lima belas tahun
dia harus kehilangan ayahnya dulu, baru ia bisa sekolah. Berapa mahal
membayarnya, jika ingin bersekolah kita harus kehilangan orang yang kita
sayangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar