Kamis, 08 Mei 2014

CERPEN PERHIMAP V



Aku, Ruby dan Kartini
Oleh: Meti Nurin Yulia Amin 
 
Kebebasan adalah buah pikiran untuk maju. Bebas berarti berhak melakukan apa saja yang diinginkan, melakukan apa saja yang mampu menimbulkan perasaan bahagia. Manusia tidak sama dengan burung yang bebas terbang di langit karena mempunyai sayap. Manusia hidup di daratan, sama dengan halnya burung yang hidup di sangkar. Burung yang hidup di sangkar tidak bebas terbang seperti di langit. Mereka terperangkap. Mereka tidak bahagia. Bukanya setiap orang berhak bahagia dan mendapatkan kebebasan ? Berbeda itu indah, ya memang indah. Tapi realitanya kenapa tidak ? Kenapa ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki? Kenapa perempuan tidak bisa bebas melakukan apa yang diinginkan seperti laki-laki ? Kenapa perempuan tidak boleh bermain sepak bola seperti laki-laki ? Bermain sepak bola menyehatkan bukan ? Ini semua sampah. Belenggu dan keterbatasan inilah yang membuat perbedaan itu tidak indah.
***

Aku adalah Raden Ayu Kencana Maspati. Raden Ayu sebenarnya bukanlah namaku, Raden Ayu adalah gelar resmi dari keluarga keraton. Nama asliku Kencana Maspati. Ya, aku memang mempunyai darah keturunan keluarga keraton Solo. Di daerah Solo, keluargaku cukup dihormati. Sebagai pembesar, orangtuaku memegang teguh adat-istiadat dan kebudayaan Jawa. Orangtuaku sangat kaku dan keras. Kurang bisa diajak bermusyawarah dan terlalu otoriter. Gaya lama ini tidak lain dan tidak bukan adalah perwujudan pengasuhan anak yang masih kuno dan ketinggalan zaman.

Kehidupan masa kecilku berjalan dengan baik sekali, meski Ayah mendidikku dengan keras di rumah. Zaman modern memang sudah memasuki kehidupan daerah Solo, tetapi Ayah dan Ibu tetap saja memberikan pengajaran dan pengasuhan yang ketinggalan zaman kepadaku. Meski begitu, aku tumbuh menjadi gadis Jawa yang anggun, sesuai dengan gelar darah yang disandang keluargaku. Usiaku bertambah dan aku sekarang duduk di bangku SMP. Aku tidak menduga bahwa ini adalah akhir pendidikanku.
Aku dan Ayah terlibat pembicaraan serius.

“Kencana, ini tentang kehidupan masa depanmu,” kata Ayahanda kepadaku. “Ada apa, Ayah?” tanyaku
“Ayah sudah berbicara dengan ibumu, dan ibumu setuju dengan keputusan Ayah. Kamu tidak usah melanjutkan pendidikanmu ke SMA”.
“Memang kenapa, Yah ?”
“Ini sudah menjadi kebiasaan dan adat-istiadat kita. Perempuan tidak perlu bersekolah terlalu tinggi. Perempuan hanya perlu tahu cara mengurus anak dan keluarga. Bukankah dari kecil mbahmu sering berkata begitu”, kata Ayah

“Iya Ayah, Kencana tahu, Kencana paham hal itu”. Kencana berkata dengan nada yang tegas. “Tapi sekarangkan sudah berbeda. Semestinya anak perempuan sekarang sudah boleh bersekolah, sudah boleh berkerja. Kencana tahu itu kebiasaan adat-istiadat kita, tapi tidak salahnya berubah bukan?”

“Kencana, cukup! Kamu jangan sok tahu. Anak kecil seperti kamu tahu apa?”, potong Ayahnya
“Kencana tidak sok tahu, Yah. Kencana hanya mengatakan apa yang Kencana inginkan, dan Kencana masih ingin bersekolah, Yah.”

“Sudah, kamu jangan melawan. Ayah sudah meminta pamanmu untuk mencarikan calon suami buatmu. Selulus dari SMP, kamu akan menikah. Itu sudah keputusan Ayah dan Ibu.” 

“Apa? Menikah? Kencana tidak mau, Yah. Kencana masih ingin sekolah.”, rengeku pada Ayah
“Sudah cukup, sekarang kamu masuk ke dalam.”, bentak Ayah
“Tapi, Yah.”
“Kencana! Kamu tidak dengar apa kata Ayahandamu ini, masuk ke dalam!”, bentaknya kepadaku
Aku berhenti bersikeras. Meski dengan muka merengut, aku tetap patuh pada Ayah. Aku pergi dan mengadu kepada Ibu.
“Bu, Kencana tidak mau menikah. Kencana masih terlalu muda untuk menikah dan mengurus keluarga. Kencana masih ingin belajar. Kencana ingin sekolah, bu.”, rengeku pada Ibu
“Sudah sayang, Ibu mengerti. Ibu tahu Kencana masih ingin bersekolah, tapi ini sudah keputusan Ayahandamu. Dan kamu harus menurutinya.”, kata Ibu lembut sambil membelai rambutku
“Kencana tetap tidak mau, Ibu”.

Aku berlari meninggalkan Ibu, dan mengunci diri di kamar. Jadilah aku bagai burung dalam sangkar. Burung yang sangat merindukan kebebasan untuk terbang. Aku ingin bebas melakukan apa yang aku ingin lakukan. Aku ingin bebas.

Ya, bagaimanapun juga, hari tetap berjalan. Dan aku sudah duduk di kelas IX sekarang. Apa yang dikatakan Ayah benar adanya, Paman benar-benar mencarikan calon suami untukku. Dan hari pernikahanku pun sudah mulai dekat. Aku tidak mampu menolak. Aku menuruti kemauan Ayahku. Dan setelah lulus SMP pun aku menikah. 

Mendengar ceritaku, tiba-tiba seorang siswa di bagian belakang ruangan mengangkat tangannya dan berkata, “Maaf Ibu ! Boleh saya bertanya ?”
“Ya, silahkan”.
“Ibu sekarangkan sudah menjadi guru kami, bagaimana ibu melanjutkan studi ibu? Padahal tadi Ibu berkata, ibu tidak diperbolehkan melanjutkan sekolahnya ke SMA’.
“Iya benar sekali, pertanyaanmu sangat cerdas. Alhamdulillah, ibu mendapatkan suami yang berpikiran maju dan bisa bertoleransi. Beliau memperbolehkan ibu untuk melanjutkan studi ibu, tapi dengan satu syarat, ibu tidak boleh melupakan dan meninggalkan kewajiban ibu sebagai istri beliau. Jadi, ibu langsung memilih SMA SPG, sekolah untuk keguruan pada zaman itu.”, jelasku pada anak seluruh kelas.
Suasana kelas menjadi riuh, anak-anak berteriak “cie” dan ada pula yang bersiul.
***

Sudah dari semalam aku browsing dan membaca referensi mengenai emansipasi wanita. Dari yang aku baca, emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak individunya, maupun persamaan derajat. Jadi, emansipasi wanita berarti usaha untuk mendapatkan hak suara wanita. Ya, dengan begini aku siap memberikan pelajaran pada siswa-siswiku di kelas.

Hari ini tepat tanggal 21 April, memperingati Hari Kartini. Oleh karena itu tidak salahnya aku membagi cerita mengenai diriku, dan mengenai pahlawan wanita lainnya kepada siswa-siswiku.

Tiba-tiba, seorang siswi yang duduk di pojok kanan ruangan mengangkat tangan, “Maaf, bu boleh saya minta waktu lima belas menit untuk bercerita sedikit, bu? Ini tentang kenyataan yang saya alami sendiri. Cerita saya bisa memperkuat teori ibu tersebut.”, pintanya
“Baik, nama kamu Ruby ya?”
“Iya, bu.”
Gadis itu mulai bercerita. Cerita yang sama denganku dan penuh inspirasi.
Rr. Ruby Susuhanan begitu nama lengkapnya. Sama denganku. Ruby terlahir dari turunan keluarga ningrat dan terpandang di daerah Solo. Ayahnya juga sama dengan ayahku, memegang teguh adat-istiadat keluarga, otoriter, dan keras dalam mengasuh Ruby. Di bangku SD Ruby pernah mendengar cerita tentang pahlawan wanita, R.A. Kartini. Cerita yang ia dengar ini perlahan mengilhaminya untuk mulai menyadari bahwa ia perlu melakukan sesuatu demi dirinya sendiri.
R.A. Kartini tercatat sebagai orang yang giat mengedepankan keadilan gender dan emansipasi wanita. Lahir dan tumbuh di lingkungan yang sangat kental akan adat-istiadat Jawa. R.A Kartini awalnya juga terkekang oleh aturan ketinggalan zaman, yaitu perempuan tidak boleh menempuh pendidikan tinggi dan harus berdiam diri dirumah mengurus keluarga. Namun berkat kerja keras dan kegigihannya, serta surat-suratnya bersama teman penanya Stella – seorang Belanda, dan surat lainnya yang telah dibukukan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, R.A. Kartini menyadari bahwa perlu adanya pergerakan pada dirinya. Beliau mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat dan wanita. Dengan begitu wanita dan rakyat jelata di zamannya dapat merasakan duduk di bangku sekolah, begitu juga sampai sekarang. Namun sayang, umur R.A. Kartini tidaklah panjang. Beliau dipanggil pada usia yang sangat muda.

Ruby bercerita bahwa ia juga dilarang oleh Ayahnya untuk melanjutkan SMA. Dan ia menuruti perkataanya Ayahnya itu. Setelah lulus SMP, Ruby benar-benar tidak melanjutkan sekolah dan hanya berdiam diri dirumah mengerjakan dan belajar menjadi perempuan yang baik dan ibu rumah tangga yang baik.
***

Suasana kelas hening. Yang terdengar hanya riuh di kelas sebelah. Akupun prihatin mendengar penuturan Ruby. Aku kira kisah seperti itu hanya terjadi pada zaman dulu, zamanku, zaman R.A. Kartini tidak zaman sekarang, zamannya Ruby.

“Baik terimaksih Ruby, cerita kamu barusan membantu kita disini untuk lebih memahami pelaksanaan dan niai-nilai emansipasi wanita pada zaman sekarang ini.”, kataku
Tiba-tiba ada siswi yang bertanya, “Lalu bagaimana bisa kamu sekarang bersekolah?”
“Bagaimana Ruby, apakah kamu masih ingin berbagi cerita?”, tanyaku
“Tidak apa-apa, bu. Biar saya lanjutkan.”, katanya
“Mungkin teman-teman bertanya kenapa sekarang saya boleh bersekolah? Saya saja tidak tahu bagaimana merasakanya. Entah saya harus senang atau sedih bisa bersekolah. Karena beberapa bulan setelah ayah saya meminta saya untuk tidak melanjutkan sekolah, kesehatan ayah saya menurun akibat penyumbatan pembuluh jantung yang dideritanya. Dan tidak lama kemudian, beliau wafat. Tragis ya, aku bisa bersekolah karena ayahku sudah meninggal.” Kalimatnya berakhir dengan gemetaran.

Ini lebih menyakitkan, diumurnya lima belas tahun dia harus kehilangan ayahnya dulu, baru ia bisa sekolah. Berapa mahal membayarnya, jika ingin bersekolah kita harus kehilangan orang yang kita sayangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar