KUMALA
Oleh: Yuliana (PGSD 2011)
Bontang,
21 April 2014. pukul 07.15
Di sudut sebuah ruangan berAC
berukuran 25 m x 20 m, terlihat Seorang
wanita tua sedang duduk dengan buku di tangannya, dia tampak hikmat menyelami
isi buku itu dan beberapa kali ia memperbaiki letak kacamatanya.
Ruangan itu
terlihat sangat menakjubkan dengan warna hijaunya yang mendominasi. Buku-buku
tertata dengan sangat rapi disetiap rak yang tingginya hanya 2 meter, gambar setiap sisi tembok adalah hasil kreasi mural anak-anak kelas 4, sangat terlihat
jelas hasil imajinasi mereka pada tembok itu.
Di sisi sebelah
kanan tembok, bertemakan Ruang antariksa, yang berarti rak-rak buku tersebut
tentang dunia luar angkasa. Sebelah kiri tembok bertemakan hutan, yang berarti
buku-buku pada rak beisi tentang ilmu pengetahuan alam, dan sisi belakang
ruangan bertemakan kehidupan social yang berarti isi buku-buku pada rak berisi tentang ilmu pengetahuan social. Tapi
yang lebih mengaggumkan lagi pada ruangan ini, gambar-gambar pada tembok itu out of the box.
Terdengar
pintu ruangan dibuka dengan suara khas deritnya, tapi tidak membuat wanita tua itu terganggu,
sepertinya dia benar-benar tenggalam dalam buku yang sedang ia baca, masuklah
seorang wanita yang kira-kira berumur 28 tahun mengenakan
kebaya dan sarung songket dengan warna hijau tosca yang senada, ia berdiri di
depan meja wanita tua itu dan membunyikan lonceng di ujung kiri meja. Wanita
tua itu langsung menoleh dan meletakan buku yang sedang ia baca, ia melipat
sedikit halaman yang terakhir yang ia baca dan memperbaiki letak kacamata
tuanya.
“Maaf
bu, saya mengganggu kegiatan rutin ibu”
wanita 28 tahun itu buka suara,
“Tidak
apa-apa Bu Lana, untung saja Bu Lana
menyadarkan saya dari dunia yang tidak berujung ini, kalau tidak saya mungkin
masih tersesat” Wanita tua itu tertawa dengan tawa khasnya diikuti dengan
tawa Bu Lana.
“Ahh
ibu puitis sekali, tapi sungguh bukan
saya yang menyelamatkan anda, tapi
lonceng yang tak bernama inilah, percayalah..” Bu Lana berkata dengan ekspresi
bak seorang pujangga. Wanita tua itu mengangguk-ngangguk takhzim sambil
membenarkan letak kacamatnya.
“
Baiklah kalau begitu, mulai saat ini saya akan memberikan nama pada lonceng
ini, menurut bu Lana bagusnya apa yah?”
“Ehmm..
bagaimana kalau Kudungga bu, nama raja pertama kerajaan Kutai” Bu Lana tampak
antusias, guru sejarah satu ini selalu antusias jika ditanyakan tentang
pendapat. Wanita tua dihadapannya tampak berpikir, tidak memberikan respon atas
ucapan Bu Lana.
“
Ehmm.. saya pikir nama itu agak kurang pas,”
mereka berdua tampak berpikir serius. Sepuluh detik berlalu, akhirnya
wanita tua itu kembali membuka suaranya kembali.
“Ahaa..
saya akhirnya menemukan nama yang cocok untuk lonceng ini,”
“
Siapa Bu?” Bu Lana masih terlihat antusias
“Kelana,”
Wanita tua itu tersenyum simpul
“
Kok Kelana Bu?, itu kan nama saya” Bu Lana memasang wajah bingungnya
“
Nama inilah yang paling cocok untuk lonceng ini, karena Bu Kelana lah yang membunyikannya”
“Hehe..
saya jadi malu Bu, padahal kan saya bukan orang pertama yang membunyikan
lonceng ini bu” Bu Lana tersipu malu
“Kamu
benar, tapi Bu Lana lah yang benar-benar
meyelamatkan saya hari ini”
“Kok
bisa Bu?” Wanita tua itu hanya tersenyum
simpul tanpa menjawab pertanyaan guru sejarah itu. Bu Lana tampak canggung
karena pertanyaannya hanya dibalas dengan senyuman.
“Ngomong-ngomong,
ada perlu apa yah Bu Lana mencari saya?” wanita tua itu mencoba menutupi
kecanggungan wanita dihadapannya.
“
Oh yah Bu, saya hampir lupa tujuan awal saya, tadi kepala sekolah menitipkan
pesan kepada saya, memberitahukan kepada ibu karena hari ini ibu yang menjadi
pembina upacara maka ibu diminta, agar datang sepuluh menit sebelum upacara
dimulai.” Guru sejarah itu dengan tenang dan santun menjelaskan.
“Katakan
kepada kepala sekolah, seperti biasa saya akan datang 2 menit sebelum upacara
dimulai 07.48, No protest”
“Tapi
Bu, hari ini kan hari Kartini, tidak bisakah ibu untuk hari ini..”
“Tidak
ada tapi-tapian,waktu satu menit saya gunakan untuk ke lapangan dan
sisanya tujuh menit bagi saya sangat berharga, daripada saya
hanya berdiri tujuh menit untuk menunggu guru-guru yang lain, lebih baik saya
gunakan waktu itu menyelami buku-buku yang ada di sini. Yah paling tidak saya bisa
membaca delapan halaman,” wanita tua itu mengukir senyum ketulusan atas
ucapannya. Guru sejarah dihadapannya, tidak sanggup berkata-kata lagi, karena wanita yang
dihadapinya itu sangat mengahargai waktu, dan tidak mudah menggoyahkan
prinsipnya itu, untuk sesuatu yang dianggapnya masih bisa ditolerir
“Saya
tahu ibu Lana kesini tidak hanya sekedar memberitahu saya informasi itu,
tetapi Bu Lana disuruh kepala Sekolah
untuk menyakinkan saya, maaf sekali Bu, saya tidak bisa, saya harap ibu
memahaminya,” ucapnya penuh wibawa
“Baiklah kalau begitu Bu, sepertinya
saya tidak akan pernah berhasil untuk menyakinkan ibu, kalau begitu saya
permisi pamit” Bu Lana tampak terlihat lesu dan segera membalikkan badannya ke
arah pintu, suara pintu yang ditarik terdengar berderit. Tiba-tiba panggilan
Wanita tua itu menghentikan langkahnya
“Bu Lana..” ucapnya agak keras
“Iyah Bu..?” semoga wanita yang
sangat menghargai waktu ini berubah pikiran, batinnya. Ia pun segera kembali ke
hadapan wanita tua itu,
“Yah, karena hari ini hari special untuk menghargai wanita-wanita
hebat Indonesia, mungkin saya bisa sedikit mentolerir permintaan kepala
sekolah..”
“Benarkah? Kalau begitu saya harus
memberitahukan Kep..” guru sejarah itu terlihat bersemangat sekali,
“Tapi dengan satu syarat..” Potong
wanita tua itu
“Hah? Syaratnya apa bu?” guru
sejarah itu terlihat bingung
“Asalkan Ibu Kelana bisa menjawab
pertanyaan saya, saya akan datang lima menit lebih awal sebelum upacara
dimulai” Ia kembali mengukir senyum khasnya. Guru sejarah itu tampak berpikir.
Tak apalah biarpun lima menit mungkin saya bisa mengukir sejarah di Sekolah
ini, kapan lagi wanita ini mau datang sedikit lebih awal dari biasanya, pantas
saja ia dijuluki guru dua menit, renungnya.
“
Pertanyaannya mudah, siapa orang yang pertama kali membunyikan lonceng ini?” Ucap
Wanita tua itu
“Itu pertanyaan yang mudah,” Guru
sejarah itu tersenytum
“Kelana, saya orang pertama yang
membunyikan lonceng ini, karena sayalah
yang menyelamatkan ibu tadi” lanjutnya dengan yakin
Wanita Tua itu terkekeh, lantas
tersenyum dan merenung sejenak
“Bu Kelana terlalu terburu-buru menjawab,
dan maaf terlihat sekali ibu tidak konsisten, padahal diawal tadi ibu sendiri
yang mengatakan bahwa bukan ibu yang membunyikan loncengnya” Bu Kelana hanya
diam dan tak menjawab, ia memang membenarkan pernyataan wanita tua itu,
seharusnya ia berpikir dulu sebelum menjawab, wanita tua ini kadang sulit
ditebak. Pertanyaan yang terdengar mudah bisa membuat kita terkecoh jika tidak
dipikirkan dengan serius.
“Jawaban yang benar adalah pembuat
loncengnya yah bu, karena dialah orang yang mengecek apakah loncengnya sudah
bisa berbunyi atau tidak,” Bu Lana kembali menjawab, andai saja ia tadi
memikirkannya sebelum menjawab.. batinnya
“Bingo..”
Ucap wanita tua itu sambil menjentikan jarinya
Suara derit pintu kembali terdengar,
bersamaan dengan itu, Bu Kelana pun pamit pergi, membawa kekecawaan di hatinya.
Tamu yang datang adalah mantan murid
wanita tua itu, dia seorang gadis berumur hampir 40 tahun itu bernama Syarifah, gaya berpakaiannya
terlihat sangat sederhana. Kerudung hijau mudanya terlihat senada dengan
bajunya.
Syarifah rutin mengunjungi wanita
tua itu setiap enam bulan sekali dan selalu mengechek kesehatan wanita tua itu,
ia adalah seorang dokter. Ia sempat
memperhatikan wajah bu Kelana saat keluar tadi, ia hanya menggeleng-geleng
seperti bisa menangkap apa yang baru saja terjadi.
Ia menarik salah satu kursi yang berada
di pojok ruangan, dan duduk disamping wanita tua itu, wanita tua itu hanya
tersenyum simpul. Gadis itu kemudian mencium tangan wanita tua itu.
“Apa Kabar Ibu Guru? Bagaimana
kesehatan anda? Selama enam bulan ini?” Gadis itu mengeluarkan peralatan
medisnya dan meletakannya dengan rapi diatas meja
“ohh.. Bisakah anda kesini tidak
membawa monster-monster ini?” Wanita tua itu, tiba-tiba kehilangan selera
“Monster-monster ini baik kok bu
Guru, dia akan membuat anda jauh lebih baik” Gadis itu tersenyum simpul sambil
terus memeriksa tekanan darah si wanita tua.
“Guru yang barusan tadi kenapa lesuh
begitu? Ahh pasti ibu memberikan pertanyaan yang aneh lagi yah? Ah ibu terlalu
keras padanya, pantas saja julukan guru dua menit tidak akan pernah hilang dari
peradaban sekolah ini.” Tebak gadis itu.
“Apakah kamu sudah menerima lamaran
Dokter Henry?” Tanya wanita tua itu tiba-tiba tanpa menggubris pertanyaan Syarifah.
“Gejala apa yang bu guru rasakan
selama enam bulan terakhir? Bagaimana pencernaan ibu, apakah masih bermasalah?”
gadis itu mengalihkan pembicaraan,
“Kamu menolaknya lagi, Syarifah umur
kamu sudah tidak muda lagi,”
“Ini obat herbal yang harus ibu minum
sehari sekali saja, semuanya sudah komlplit dengan resepnya disini” gadis itu
malah mengeluarkan seplastik obat dari tasnya.
“Saya memahami betul perasaanmu
Syarifah, jika kamu sudah merasa tidak sanggup menahannya ceritakanlah kepada
Ibu”
“Oh yah bu, apakah lonceng ini sudah
diberi nama?, ini kan PR dari saya bu, sesuai perjanjian jikalau ibu belum
memberikan nama dan alasan memilih nama pada lonceng ini, ibu harus mau check up ke Rumah Sakit.” Gadis itu
kembali mengalihkan pembicaraan.
“Namanya Kelana, sesuai nama Bu guru
yang baru saja keluar… Syarifah..”
Syarifah
hanya terdiam, sikapnya yang selalu tidak ingin menyusahkan orang lain,
akhirnya menjadi beban tersendiri baginya.
Ia menundukan kepala, menahan air
matanya, tapi sekuat apa pun ia menahan akhirnya butiran senjata itu mengalir
juga. Ia memeluk wanita tua itu, dan akhirnya menceritakan apa yang terjadi.
“Wanita menangis bukan karena lemah
tapi melainkan ia sudah tidak mampu lagi berpura-pura kuat,” setelah gadis itu
menangis, hanya itu yang ia ucapkan.
Wanita tua itu kemudian mengenang
kembali masa-masa perjuangannya dulu.
Bontang,
1 April 1985
Pukul 14.00 Wita, Seorang gadis
dengan tas ransel di punggungnya dan tas jinjing cukup besar ditangan kanannya,
memasuki sebuah desa di pinggir laut, jalannya terbuat dari kayu ulin, dan lebar jalan itu kira-kira hanya dua meter.
Aroma khas ikan-ikan yang sedang dikeringkan menyambutnya.
Ibu-ibu
dengan kaki telanjang di sebelah kanan dan kiri pinggir jalan dengan cekatan membariskan ikan-ikan
yang sudah lumuri garam. Diantara mereka ada yang menggendong anaknya yang
sedang tertidur pulas di punggungnya , namun hal itu tidak menjadi penghalang
bagi mereka untuk terus bekerja.
Kepala mereka ditutupi sarung yang dililit meninggi, sedangkan wajahnya di olesi bedak basah yang
terbuat dari tepung beras dan kunyit. Mereka tersenyum
Ramah
setiap melihat orang baru, bahkan ada
beberapa yang berhenti sejenak
dari kegiatan menjemur ikannya, hanya untuk memperhatikan gerangan yang sedang
mengunjungi desa mereka.
Gadis itu bernama Kumala, dia adalah
seorang guru yang dimutasi dari tempat asalnya, Tenggarong. Untuk mengabdi di
sebuah desa di pinggir kalimatan Timur, yang berpenduduk sekitar 250 orang itu.
Desa itu masih di bawah pemerintahan kabupaten Kutai Kartanegara, dan desa itu adalah salah satu dari sekian
banyak desa di kota Bontang.
Desa itu bernama Berbas Pantai.
Mayoritas penduduknya beragama islam, kebanyakan sukunya bugis Makassar dan
selebihnya suku jawa. Mata pencaharian penduduknya sebagai Nelayan.
Ini
pertama kalinya ia melihat laut, dan berjalan diatas jembatan kayu. Dia begitu
takhzim melihat tempat ini, semoga ia mampu mengembangkan desa ini dengan baik,
batinnya.
Dia terus menyelusuri jalan kayu
itu, teriknya matahari tidak menyurutkan langkahnya, untuk melihat ujung dari
jembatan ini. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara lantang memanggil
seseorang.
“Bu Guruuuuu….” Ia segera mencari ke
arah suara tersebut. Sumber Suara itu
kira-kira sepuluh meter didepannya. Seorang
laki-laki berbadan kekar dan berkulit coklat, berlari-lari kecil
dihadapnnya. Sesampainya Dihadapan
kumala
ia
terlihat ngos-ngosan, peluh di pelipisnya tidak bisa menyangkal, bahwa pria
kekar ini seperti habis ikut lari marathon.
“Maaf Ibu guru saya terlambat
menjemput Ibu Guru, seharusnya Ibu Guru menunggu saja tadi di jalan atas tadi”
ucap laki-laki kekar itu dengan nafas masih ngos-ngosan. Melihat tas jinjing
yang cukup besar itu, membuatnya segera mengulurkan bantuan untuk membantu
mengangkat,
“Terima kasih dan Maaf sebelumnya,
saya tidak biasa menunggu terlalu lama, itu membuat kaki saya keram, jadi saya
nekat saja langsung kebawah.” Ucap Kumala dengan penuh penyesalan dan tegas. Laki-laki itu hanya
mengangguk-mengangguk dan tersenyum simpul, terlihat sekali wajahnya kelelahan sehabis lari.
“Kenalkan, nama saya Kumala, anda
pasti suruhan Pak Andi Ghofur kan?” wanita itu menebak dan mengulurkan
tangannya
“ Iyah benar, saya disuruh pak
Ghofur untuk menjemput anda Bu guru”
Ia
menjabat tangan itu dengan tegas dan sedikit membungkuk.
“Nama saya Usman Bu guru” ucapnya
kaku
“ Panggil saya Kumala saja, dan anda terlalu banyak mengucapkan Bu guru
hari ini” laki-laki itu memerah mukanya dan menggaruk-garuk kepalanya.
“Bagaimana kalau anda segera menghantarkan
saya ke rumah pak Andi?” lanjut kumala.
Sepanjang perjalanan menuju rumah
pak Andi Ghofur, Kumala banyak bertanya tentang desa pinggir laut ini. Dari
penjelasan Usman, dia sedikit mendapat gambaran tentang masih terbelakangnya
pendidikan di desa ini, anak-anak gadis
yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah dasar terpaksa menerima perintah
orangtua mereka untuk dinikahkan. Sedangkan anak laki-laki mereka, ketika
berusia genap sepuluh tahun sudah ikut ayahnya melaut.
Sepertinya Kumala mendapat tugas
yang tidak mudah kali ini. Lima tahun silam di desa ini, pernah ada guru
seperti Kumala yang datang untuk membangun desa pendidikan di desa ini.
Tapi entah mengapa, setelah dua
tahun mengajar guru itu lantas menyerah. Di hari kepergiannya ia sempat
bertandang ke rumah pak Andi Ghofur meminta maaf dan mengatakan bahwa desa ini
tidak ada harapan. Kalimat itu membuat pak Andi Ghofur seperti tersambar petir
disiang bolong, karena pak Andi Ghofur lah satu-satunya orang yang sangat
memperjuangkan pendidikan di desa ini.
Tujuh menit berjalan, mereka
akhirnya sampai di rumah pak Andi Ghofur. Kumala memperhatikan rumah di
hadapnnya, tercium sekali bau pernis yang melekat pada ulin hitam rumah itu,
sepertinya rumah itu baru saja dicat beberapa jam lalu, langit-langit rumah itu dibuat seperti bentuk
kapal terbalik, dan diatas pintu dipajang kepala tengkorak kerbau yang kedua
tanduknya berwarna putih susu.
“Assalamualaikum..” ucap keduanya
berasamaan
“Walaikumsalam,” jawab seorang
laki-laki paruh baya yang tak lain adalah pak Andi Ghofur, laki-laki paruh baya
itu mempersilahkan mereka berdua masuk. Warna pernis menghiasi ruangan,
“Daeng,
ini Ibu Guru Kumala yang daeng tunggu dari tadi..” Usman membuka pembicaraan.
“Tidak perlu kamu kasih tahu ka’ udah tau mi saya kalau ini ibu guru Kumala” suara laki-laki paruh baya itu
terdengar penuh wibawa di telinga Kumala
“Maafkan saya Pak Andi, karena sudah
membuat bapak menunggu lama”
“Tidak apa-apa Ji bu guru, saya selalu menunggu hari ini,”
“Bagaimana kabar bapak?”
“Alhamdulillah sehat-sehat saja,
kalau keadaaan pak Mansur bagimana?” Percakapan mereka terus berlanjut,
sementara Usman sudah menghilang dari tadi. Ia menghidangkan dua cangkir teh dn
setoples kue kering sebelum pergi. Usman adalah adik bungsu dari pak Andi
Ghofur, nama lengkapnya Andi Usman.
Pak Mansur adalah sahabat pak Andi
Ghofur, beliau juga seorang guru dan paman dari Kumala. lima tahun lalu, pak
Mansur pernah mengunjungi desa ini dengan maksud membangun pendidikan dan
mengembangkan desa, namun kedatangan pak Mansur sangat tidak tepat, karena saat
itu pula warga desa tidak mau lagi percaya dengan sosok guru. Sampai akhirnya
beliau bertemu dengan pak Andi Ghofur yang mau mendengarkannya, karena keadaan
desa yang cukup meresahkan membuat pak Mansur menyerah, namun sebelum ia pergi
desa itu. Pak Mansur berjanji, lima tahun yang
mendatang, akan mengirimkan
seorang guru ke desa ini. Dan Kumala lah sosok yang beruntung itu, yang telah
lama dinantikan kedatangannya.
Pak Andi Ghofur berdarah bugis
Makassar, nama Andi adalah nama keturunan raja Bone, nama itu disematkan dari nama ayahnya,
semua saudara-saudaranya juga diberikan
nama Andi. Namun jika saudara peremupuannya menikah bukan dengan keturunan raja
Bone dan mempunyai anak, maka anaknya tidak menggunakan nama Andi lagi. Nama
Andi hanya digunakan jika nama ayahnya bermarga Andi juga.
Beliau adalah salah satu orang yang
terpandang di desa itu,mempunyai tiga kapal laut yang cukup besar dengan tiga
puluh anak buah yang mengoperasikan kapal miliknya mencari ikan, umur pak Andi
Ghofur sudah tidak muda lagi dan memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya
menjadi nelayan.
Pak Andi Ghofur juga menceritakan
kejadian yang menimpa desanya lima tahun silam, seperti yang diceritakan Usman
tadi. Beliau menceritakannya secara lebih detail. Kumala mendengarkannya dengan
tatapan serius bahkan teh yang dihidangkan untuknya tidak tersentuh sedikitpun.
Setelah mendengar penjelasan dari
pak Andi Ghofur, akhirnya ia mengerti mengapa desa ini tidak begitu memerhatikan
pendidikan. Kejadian lima tahun silam membuat warga tidak percaya lagi terhadap
guru, warga yang awalnya sangat menghormati sosok guru yang mau mengembangkan
desanya, malah bersikap sebaliknya karena ulah guru itu. guru yang namanya
tidak disebutkan itu telah membuat kerugian yang cukup besar desanya.
Awalnya guru itu, hanya peduli
terhadap pada pendidikan anak-anak di desa itu, tapi melihat potensi ekonomi
yang cukup besar di desa itu membuat guru itu turut ikut campur dalam urusan
pembangunan desa. Dia mengembangkan keramba-keramba milik warga untuk
membudidayakan ikan bandeng, Lobster, dan ikan-ikan lainnya. Hanya dalam waktu
satu tahun, desa itu mengalami perkembangan ekenomi yang cukup pesat, warga
merasa sangat di untungkan dengan hal itu.
Dana untuk pembangunan sekolah mengalir
dari warga desa. Namun setelah
perkembangan desa yang cukup besar, dia
tidak hanya mengajar tapi juga di beri kepercayaan dalam mendistribusikan hasil
tangkapan mereka ke luar kota.
Singkat cerita, hingga suatu hari
guru itu tiba-tiba saja pergi dan yang membuat pak Andi Ghofur tercengang
dengan pernyataan guru itu yang mengatakan desa ini tidak ada lagi harapan.
Guru itu membawa serta dua pemuda desa, dan satu kapal milik pak Andi Ghofur.
Malam menyapa, sang cakrawala
kembali ke peraduannya. ini pertama kalinya Kumala menyaksikan Raja siang
menghilang di balik lautan. Selama di desa itu, ia tinggal di rumah salah
kontrakan pak Andi Ghofur. Karena perjalanan darat tadi yang memakan waktu delapan jam, membuatnya tidur
lelap dalam buaian mimpi, mimpi indah akan masa depan desa ini.
Keesokan harinya perjuangan dimulai,
hal pertama yang ia lakukan adalah mengunjungi sekolah yang letaknya di ujung
jembatan. Sungguh memprihatikan melihat sekolah yang terdiri dari tiga kelas
itu, atapnya terbuat dari seng yang sudah mulai berkarat. Ia menjelajahi setiap
kelas, terdapat banyak jerigen oli di sudut ruangan. Dan lemari-lemari yang
berisi buku habis dimakan rayap.
Kumala langsung mengambil
berinisiatif membersihkan ruangannya terlebih dahulu, disela-sela kesibukan
Kumala. Usman datang membantunya, ia juga membawa dua kaleng cat. Kumala
tersenyum bahagia, pekerjaannya jadi
cukup ringan.
Singkat cerita kegiatan membersihkan
kelas dan mengecat memakan waktu tiga hari. Kumala tak hentinya mengekspresikan
kebahagian diwajahnya.
Hari berikutnya, Ia mendatangi
setiap rumah warga yang mempunyai anak-anak Sekolah, sebagian besar warga
diminta menolak kedatangan Kumala. Masih trauma kejadian lima tahun silam, meskipun
ada beberapa yang mempertimbangkan.
Yang tak pernah terlupakan dari
ingatan Kumala adalah kejadian di rumah Bapak Andi Johan, yang menurut warga
sekitar adalah warga terkaya di desa mereka.
Kedatangannya
tidak sambut dengan baik, meskipun begitu ia tetap tersenyum dan dengan santun
memberikan penjelasan tentang pentingnya anak-anak harus bersekolah.
“Meskipun saya tidak sekolah, saya
tetap bisa kaya, bisa buat kapal, rumah, jadi nggak penting sekali itu sekolah,
Orang yang otaknya pintar malah membodohi kami,” Ucap laki-laki paruh baya itu
yang merupakan sepupu dari pak Andi Ghofur.
“Tapi pak, dengan sekolah anak-anak
bapak akan mampu lebih kaya dari bapak, anak bapak akan mandiri. Kekayaan harta
itu akan habis juga pak, tapi kekayaan ilmu tidak akan pernah habis…” belum
selesai Kumala menjelaskan, laki-laki paruh baya itu memotong.
“Saya yakin kekayaan saya tidak akan
pernah habis, Sekolah itu bikin repot saja, cukup anak saya belajar mengaji
saja tidak usah lagi belajar-belajar seperti” laki-laki itu menyalakan
cerutunya dan menghisapnya dalam. Dia tampak kesal dengan kedatangan Kumala,
ini kedatangan Kumala yang ketiga kalinya.
“ Ilmu agama memang penting pak,
tapi ilmu dunia juga sama pentingnya, Pak tolonglah pertimbangkan, saya tahu
bapak punya anak usia sekolah..”
“Puang,
kapal nomor tiga sudah datang” teriak anak buah kapal dari balik pintu,
“Sudahlah bu Guru, daripada ibu
datang terus ke rumah saya. mending ibu guru menikah saja, daripada sibuk
mengurusi sekolah yang…”
“Kalau begitu saya pamit dulu, besok
saya datang lagi, Assalamualaikum” laki-laki
itu tercengang melihat reaksi bu guru itu memotong pembicaraannya, ia kemudian
tertawa terbahak-bahak meninggalkan ruang tamunya.
Hari demi hari Kumala mendatangi
rumah-rumah warga dan ternyata sedikit membuahkan hasil, dia berhasil
mengumpulkan lima anak yang mau belajar atas ijin orangtuanya. Sampai bulan ketiga, siswa bertambah menjadi
sepuluh orang.
Singkat cerita, sebuah kejadian tak
terduga yang membuatnya hampir terusir dari desa itu, karena pak Andi johan, Ia mendengar anaknya
bernama Syarifah datang menemui Kumala untuk belajar, membuat Pak Andi Johan marah. Ia langsung datang
menemui Kumala yang sedang mengajar, sontak Kumala kaget melihat pak Johan datang
membawa dua orang anak buahnya yang membawa serta barang-barangnya.
“Ada apa ini Pak? Kenapa
barang-barang saya bisa ada sama bapak” Tanya Kumala dengan perasaan yang
campur aduk
“ Saya sudah pernah bilang bu
Kumala, jangan pernah bawa anak saya untuk ikut-ikutan sekolah, lebih baik dia
ku nikahkan dia daripada sekolah tidak
jelas begini”
Pak johan berkata sambil mengayunkan
telunjuknya, Syarifah yang duduk barisan paling depan terlihat pucak, peluh
dingin membasahi pelipisnya.
“Bagaimana bisa bapak mengatakan
sekolah ini tidak jelas? Lihat anak bapak sekarang, bapak sudah membuat
Syarifah ketakutan seperti itu?” Ucap Kumala tak kalah gentar. Ia lalu
menebak-nebak kalau kedatangan Pak Andi Johan ini karena penolakan Kumala untuk
dijadikan menantunya tempo lalu mungkin telah melukai hatinya.
“ kalau bapak kesini karena kejadian
tempo lalu, sebaiknya masalah itu diselesaikan secara pribadi dengan saya bukan
seperti ini” Bapak itu terdiam melihat putri bungsunya ketakutan, tatapannya
lalu tertuju kepada Kumala
“Lebih baik Ibu Kumala segera pergi
dari desa ini, jangan pikir ibu bisa membohongi kami lagi, ibu guru seperti
anda memang baik diawalnya saja tapi ketika kami lengah bisa saja ibu menjual
desa ini” laki-laki itu malah mengalihkan pembicaraan.
“Apa yang bapak katakana hanya
spekulasi bapak saja, saya sudah katakan bahwa saya tidak akan menyerah untuk
membangun pendidikan desa ini. Seperti yang bapak lihat..”
“ahhhh.. anda terlalu banyak
berbicara, sebaiknya anda segera pergi dari desa ini, Sunar tarik wanita ini
keluar” anak buah itu dengan patuh menjalankan perintah bosnya, ia kemudian ia
menarik tangan Kumala dengan kasar.
Di depan sekolah, warga dengan cemas
menyaksikan kejadian yang tak mengenakan itu, tidak ada satupun warga bergerak,
karena banyak dari mereka bekerja dengan pak Andi Johan.
Kumala meronta-ronta kesakitan,
sampai sebuah tangan melepaskan tangannya dari cengkramana tangan laki-laki
jahat itu. ia adalah Usman, seperti pertama kali bertemu, Usman terlihat
tersengal-sengal nafasnya tidak beraturan.
“Hey.. Usman tidak usah kau ikut
campur” Pak Johan yang berdiri di hadapan Usman menunjuk-nunjuk wajah lelaki
itu.
Usman dan Pak Andi Johan saling
bersitegang, tak lama setelah itu datanglah pak Andi Ghofur yang melerai.
Anak-anak yang tadinya hanya mampu berdiam diri di kelas, berlari menghambur ke
arah Kumala.
“Ibu Guru jangan pergi….” Syarifah
memeluk Kumala dengan erat diikuti anak-anak lainnya, jeratin tangisan mereka
membuat ketiga orang yang bersitegang itu terdiam menatap anak-anak itu.
Kumala bangkit, ia seperti baru saja
mendapat energi untuk bangit kembali setelah hampir saja putus asah. Ia Menatap
pak Johan dengan tajam, lalu mengatakan sesuatu yang membuat Pak Andi Ghofur
dan Usman tercengang.
“ Saya Akan pergi hari ini, tapi
dengan satu syarat..” ucapnya dengan seyum khasnya.
“Katakan saja syaratnya, saya pasti
bisa memenuhinya” Pak Johan tampak terlihat semakin emosi, ia seperti
dipermainkan wanita muda itu.
“Bapak harus mendengar apa yang
dikatakan anak bapak,” Kumala lalu
membisikan sesuatu ke telingan Syarifah lalu dibalas anggukan, Syarifah
kemudian mendekati abahnya dan menyuruhnya sedikit menunduk. Pak Andi Ghofur, Usman,
dan warga sekitar menanti apa yang akan terjadi dengan cemas.
Syarifah membisikan sesuatu ke
telinga Abahnya, wajah pak Andi Johan yang awalnya merah padam langsung berubah
seratus delapan puluh derajat. Ia lalu memeluk Syarifah dan mencium ubun-ubun
anaknya setelah mendengar kalimat yang
diucapkan Syarifah. Ia kemudian menatap Kumala tanpa ekspresi, ia meninggalkan
tempat itu dan menyuruh anak buahnya mengembalikan barang-barang kumala ke rumahnya.
Anak-anak langsung berteriak
kegirangan memeluk Kumala, bendera kemenangan telah dikibarkan. Sementara pak
Andi Ghofur dan Usman menatap bingung, namun kemudian mereka tertawa bersama.
21 April 2014, 07. 45
“Kalau mengingat kejadian itu lagi,
seperti rasanya baru terjadi kemarin. Namun sekarang kamu sudah menjadi
dokter..”Syarifah hanya tersenyum
“Tapi ngomong-ngomong, apa yang kamu
bisikan dengan abahmu waktu itu?, apakah keinginanmu menjadi dokter?’ Syarifah
kembali tersenyum, ia mengalihkan pandangannya, kearah jam dinding.
“Bu guru, sudah jam 07.48 sebaiknya
ibu segera ke lapangan.” Syarifah malah mengalihkan pembicaraan.
“kamu memang pandai untuk
mengalihkan pembicaraan”
Pukul 07.50 upacara dimulai, semua
guru-guru perempuan nampak anggun mengenakan pakaian kebayanya dan guru-guru
laki tampak gagah dengan baju batiknya. Setelah melewati rangkaian acara
upacara, akhirnya Wanita tua yang bernama Kumala itu menyampaikan pesan-pesannya
tepat pada hari
“… buat semua perempuan-perempuan
yang ada di sini, Wanita itu lemah tapi hatinya lebih kuat daripada baja,
wanita itu mudah menangis tapi airmatanya adalah senjata, wanita itu adalah
kalian calon penerus bangsa ini, dan jangan pernah lupakan sosok laki-laki yang
berdiri di depan kalian seperti tiang, untuk kalian jadikan pegangan, mereka
adalah pondasi kalian..”
Syarifah memandang Ibu Kumala dari jauh, ia
tersenyum mengingat masa sulit itu, betapa sulitnya mengembangkan pendidikan di
desa ini. Namun hasil kerja keras dan keringat ibu Kumala, pendidikan di desa
ini menjadi maju.
“Sampai sekarang ibu tidak tahu apa
yang saya bisikan kepada Abah waktu itu” gumamnya
Kumala membisikan sesuatu ke telinga Syarifah, “Ipah, ucapkanlah
keinginannmu kepada Abahmu, maka ibu
tidak akan pergi dari sini”
Syarifah membisikan sesuatu ke
telinga Abahnya, wajah pak Andi Johan yang awalnya merah padam langsung berubah
seratus delapan puluh derajat. Ia lalu memeluk Syarifah dan mencium ubun-ubun
anaknya setelah mendengar kalimat yang
diucapkan Syarifah. Ia kemudian menatap Kumala tanpa ekspresi, ia meninggalkan
tempat itu dan menyuruh anak buahnya mengembalikan barang-barang kumala ke rumahnya.
“Abah,
saya ingin menjadi dokter. Ijinkan saya merawat ummi. Suatu hari nanti saya akan menemukan obat yang bisa menyembuhkan
penyakit ummi.”
Nama : Yuliana
Kelas: A PAgi 2011
Judul Cerpen: Kumala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar