Kamis, 08 Mei 2014

CERPEN PERHIMAP V

KUMALA
Oleh: Yuliana (PGSD 2011)

            Bontang, 21 April 2014. pukul 07.15
Di sudut sebuah ruangan berAC berukuran 25 m x 20 m, terlihat  Seorang wanita tua sedang duduk dengan buku di tangannya, dia tampak hikmat menyelami isi buku itu dan beberapa kali ia memperbaiki letak kacamatanya. 
Ruangan itu terlihat sangat menakjubkan dengan warna hijaunya yang mendominasi. Buku-buku tertata dengan sangat rapi disetiap rak yang tingginya hanya 2 meter,  gambar setiap sisi tembok adalah hasil kreasi mural anak-anak kelas 4, sangat terlihat jelas hasil imajinasi mereka pada tembok itu.
Di sisi sebelah kanan tembok, bertemakan Ruang antariksa, yang berarti rak-rak buku tersebut tentang dunia luar angkasa. Sebelah kiri tembok bertemakan hutan, yang berarti buku-buku pada rak beisi tentang ilmu pengetahuan alam, dan sisi belakang ruangan bertemakan kehidupan social yang berarti isi buku-buku pada rak  berisi tentang ilmu pengetahuan social. Tapi yang lebih mengaggumkan lagi pada ruangan ini, gambar-gambar pada tembok itu out of the box.
            Terdengar pintu ruangan dibuka dengan suara khas deritnya,  tapi tidak membuat wanita tua itu terganggu, sepertinya dia benar-benar tenggalam dalam buku yang sedang ia baca, masuklah seorang wanita yang kira-kira berumur 28 tahun   mengenakan kebaya dan sarung songket dengan warna hijau tosca yang senada, ia berdiri di depan meja wanita tua itu dan membunyikan lonceng di ujung kiri meja. Wanita tua itu langsung menoleh dan meletakan buku yang sedang ia baca, ia melipat sedikit halaman yang terakhir yang ia baca dan memperbaiki letak kacamata tuanya.
            “Maaf bu, saya mengganggu kegiatan rutin ibu”  wanita 28 tahun itu buka suara,
            “Tidak apa-apa  Bu Lana, untung saja Bu Lana menyadarkan saya dari dunia yang tidak berujung ini, kalau tidak saya mungkin masih tersesat”  Wanita tua itu  tertawa dengan tawa khasnya diikuti dengan tawa Bu Lana.
            “Ahh ibu puitis  sekali, tapi sungguh bukan saya yang menyelamatkan  anda, tapi lonceng yang tak bernama inilah, percayalah..” Bu Lana berkata dengan ekspresi bak seorang pujangga. Wanita tua itu mengangguk-ngangguk takhzim sambil membenarkan letak kacamatnya.
            “ Baiklah kalau begitu, mulai saat ini saya akan memberikan nama pada lonceng ini, menurut bu Lana bagusnya apa yah?” 
            “Ehmm.. bagaimana kalau Kudungga bu, nama raja pertama kerajaan Kutai” Bu Lana tampak antusias, guru sejarah satu ini selalu antusias jika ditanyakan tentang pendapat. Wanita tua dihadapannya tampak berpikir, tidak memberikan respon atas ucapan Bu Lana.
            “ Ehmm.. saya pikir nama itu agak kurang pas,”  mereka berdua tampak berpikir serius. Sepuluh detik berlalu, akhirnya wanita tua itu kembali membuka suaranya kembali.
            “Ahaa.. saya akhirnya menemukan nama yang cocok untuk lonceng ini,”
            “ Siapa Bu?” Bu Lana masih terlihat antusias
            “Kelana,” Wanita tua itu tersenyum simpul
            “ Kok Kelana Bu?, itu kan nama saya” Bu Lana memasang wajah bingungnya
            “ Nama inilah yang paling cocok untuk lonceng ini, karena  Bu Kelana lah yang membunyikannya” 
            “Hehe.. saya jadi malu Bu, padahal kan saya bukan orang pertama yang membunyikan lonceng ini bu” Bu Lana tersipu malu
            “Kamu benar, tapi Bu Lana lah yang benar-benar  meyelamatkan saya hari ini”
            “Kok bisa Bu?”  Wanita tua itu hanya tersenyum simpul tanpa menjawab pertanyaan guru sejarah itu. Bu Lana tampak canggung karena pertanyaannya hanya dibalas dengan senyuman.
            “Ngomong-ngomong, ada perlu apa yah Bu Lana mencari saya?” wanita tua itu mencoba menutupi kecanggungan wanita dihadapannya.
            “ Oh yah Bu, saya hampir lupa tujuan awal saya, tadi kepala sekolah menitipkan pesan kepada saya, memberitahukan kepada ibu karena hari ini ibu yang menjadi pembina upacara maka ibu diminta, agar datang sepuluh menit sebelum upacara dimulai.” Guru sejarah itu dengan tenang dan santun menjelaskan.
            “Katakan kepada kepala sekolah, seperti biasa saya akan datang 2 menit sebelum upacara dimulai 07.48, No protest
            “Tapi Bu, hari ini kan hari Kartini, tidak bisakah ibu untuk hari ini..”
            “Tidak ada tapi-tapian,waktu satu menit saya gunakan untuk ke lapangan dan sisanya  tujuh  menit bagi saya sangat berharga, daripada saya hanya berdiri tujuh menit untuk menunggu guru-guru yang lain, lebih baik saya gunakan waktu itu menyelami buku-buku yang ada di sini. Yah paling tidak saya bisa membaca delapan halaman,” wanita tua itu mengukir senyum ketulusan atas ucapannya. Guru sejarah dihadapannya, tidak sanggup  berkata-kata lagi, karena wanita yang dihadapinya itu sangat mengahargai waktu, dan tidak mudah menggoyahkan prinsipnya itu, untuk sesuatu yang dianggapnya masih bisa ditolerir
            “Saya tahu ibu Lana kesini tidak hanya sekedar memberitahu saya informasi itu, tetapi  Bu Lana disuruh kepala Sekolah untuk menyakinkan saya, maaf sekali Bu, saya tidak bisa, saya harap ibu memahaminya,” ucapnya penuh wibawa
            “Baiklah kalau begitu Bu, sepertinya saya tidak akan pernah berhasil untuk menyakinkan ibu, kalau begitu saya permisi pamit” Bu Lana tampak terlihat lesu dan segera membalikkan badannya ke arah pintu, suara pintu yang ditarik terdengar berderit. Tiba-tiba panggilan Wanita tua itu menghentikan langkahnya
            “Bu Lana..” ucapnya agak keras
            “Iyah Bu..?” semoga wanita yang sangat menghargai waktu ini berubah pikiran, batinnya. Ia pun segera kembali ke hadapan wanita tua itu,
            “Yah, karena hari ini hari special untuk menghargai wanita-wanita hebat Indonesia, mungkin saya bisa sedikit mentolerir permintaan kepala sekolah..”
            “Benarkah? Kalau begitu saya harus memberitahukan Kep..” guru sejarah itu terlihat bersemangat sekali,
            “Tapi dengan satu syarat..” Potong wanita tua itu
            “Hah? Syaratnya apa bu?” guru sejarah itu terlihat bingung
            “Asalkan Ibu Kelana bisa menjawab pertanyaan saya, saya akan datang lima menit lebih awal sebelum upacara dimulai” Ia kembali mengukir senyum khasnya. Guru sejarah itu tampak berpikir. Tak apalah biarpun lima menit mungkin saya bisa mengukir sejarah di Sekolah ini, kapan lagi wanita ini mau datang sedikit lebih awal dari biasanya, pantas saja ia dijuluki guru dua menit, renungnya.
            “ Pertanyaannya mudah, siapa orang yang pertama kali membunyikan lonceng ini?” Ucap Wanita tua itu
            “Itu pertanyaan yang mudah,” Guru sejarah itu tersenytum
            “Kelana, saya orang pertama yang membunyikan lonceng ini, karena sayalah   yang menyelamatkan ibu tadi” lanjutnya dengan yakin
            Wanita Tua itu terkekeh, lantas tersenyum dan merenung sejenak
            “Bu Kelana terlalu terburu-buru menjawab, dan maaf terlihat sekali ibu tidak konsisten, padahal diawal tadi ibu sendiri yang mengatakan bahwa bukan ibu yang membunyikan loncengnya” Bu Kelana hanya diam dan tak menjawab, ia memang membenarkan pernyataan wanita tua itu, seharusnya ia berpikir dulu sebelum menjawab, wanita tua ini kadang sulit ditebak. Pertanyaan yang terdengar mudah bisa membuat kita terkecoh jika tidak dipikirkan dengan serius.
            “Jawaban yang benar adalah pembuat loncengnya yah bu, karena dialah orang yang mengecek apakah loncengnya sudah bisa berbunyi atau tidak,” Bu Lana kembali menjawab, andai saja ia tadi memikirkannya sebelum menjawab.. batinnya
            Bingo..” Ucap wanita tua itu sambil menjentikan jarinya
            Suara derit pintu kembali terdengar, bersamaan dengan itu, Bu Kelana pun pamit pergi, membawa kekecawaan di hatinya.
            Tamu yang datang adalah mantan murid wanita tua itu, dia seorang gadis berumur hampir 40  tahun itu bernama Syarifah, gaya berpakaiannya terlihat sangat sederhana. Kerudung hijau mudanya terlihat senada dengan bajunya. 
            Syarifah rutin mengunjungi wanita tua itu setiap enam bulan sekali dan selalu mengechek kesehatan wanita tua itu, ia  adalah seorang dokter. Ia sempat memperhatikan wajah bu Kelana saat keluar tadi, ia hanya menggeleng-geleng seperti bisa menangkap apa yang baru saja terjadi.
            Ia menarik salah satu kursi yang berada di pojok ruangan, dan duduk disamping wanita tua itu, wanita tua itu hanya tersenyum simpul. Gadis itu kemudian mencium tangan wanita tua itu.
            “Apa Kabar Ibu Guru? Bagaimana kesehatan anda? Selama enam bulan ini?” Gadis itu mengeluarkan peralatan medisnya dan meletakannya dengan rapi diatas meja
            “ohh.. Bisakah anda kesini tidak membawa monster-monster ini?” Wanita tua itu, tiba-tiba kehilangan selera
            “Monster-monster ini baik kok bu Guru, dia akan membuat anda jauh lebih baik” Gadis itu tersenyum simpul sambil terus memeriksa tekanan darah si wanita tua.
            “Guru yang barusan tadi kenapa lesuh begitu? Ahh pasti ibu memberikan pertanyaan yang aneh lagi yah? Ah ibu terlalu keras padanya, pantas saja julukan guru dua menit tidak akan pernah hilang dari peradaban sekolah ini.” Tebak gadis itu.
            “Apakah kamu sudah menerima lamaran Dokter Henry?” Tanya wanita tua itu tiba-tiba tanpa menggubris pertanyaan Syarifah.
            “Gejala apa yang bu guru rasakan selama enam bulan terakhir? Bagaimana pencernaan ibu, apakah masih bermasalah?” gadis itu mengalihkan pembicaraan,
            “Kamu menolaknya lagi, Syarifah umur kamu sudah tidak muda lagi,”
            “Ini obat herbal yang harus ibu minum sehari sekali saja, semuanya sudah komlplit dengan resepnya disini” gadis itu malah mengeluarkan seplastik obat dari tasnya.
            “Saya memahami betul perasaanmu Syarifah, jika kamu sudah merasa tidak sanggup menahannya ceritakanlah kepada Ibu”
            “Oh yah bu, apakah lonceng ini sudah diberi nama?, ini kan PR dari saya bu, sesuai perjanjian jikalau ibu belum memberikan nama dan alasan memilih nama pada lonceng ini, ibu harus mau check up ke Rumah Sakit.” Gadis itu kembali mengalihkan pembicaraan.
            “Namanya Kelana, sesuai nama Bu guru yang baru saja keluar… Syarifah..”
Syarifah hanya terdiam, sikapnya yang selalu tidak ingin menyusahkan orang lain, akhirnya menjadi beban tersendiri baginya.
            Ia menundukan kepala, menahan air matanya, tapi sekuat apa pun ia menahan akhirnya butiran senjata itu mengalir juga. Ia memeluk wanita tua itu, dan akhirnya menceritakan apa yang terjadi.
            “Wanita menangis bukan karena lemah tapi melainkan ia sudah tidak mampu lagi berpura-pura kuat,” setelah gadis itu menangis, hanya itu yang ia ucapkan. 
            Wanita tua itu kemudian mengenang kembali masa-masa perjuangannya dulu.
Bontang, 1 April 1985
            Pukul 14.00 Wita, Seorang gadis dengan tas ransel di punggungnya dan tas jinjing cukup besar ditangan kanannya, memasuki sebuah desa di pinggir laut, jalannya terbuat dari kayu ulin, dan  lebar jalan itu kira-kira hanya dua meter. Aroma khas ikan-ikan yang sedang dikeringkan menyambutnya.
             Ibu-ibu  dengan kaki telanjang di sebelah kanan dan kiri  pinggir jalan dengan cekatan membariskan ikan-ikan yang sudah lumuri garam. Diantara mereka ada yang menggendong anaknya yang sedang tertidur pulas di punggungnya , namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk terus bekerja.
            Kepala mereka  ditutupi sarung yang dililit meninggi,  sedangkan wajahnya di olesi bedak basah yang terbuat dari tepung beras dan kunyit. Mereka tersenyum  
Ramah setiap melihat orang baru, bahkan ada  beberapa  yang berhenti sejenak dari kegiatan menjemur ikannya, hanya untuk memperhatikan gerangan yang sedang mengunjungi desa mereka.
            Gadis itu bernama Kumala, dia adalah seorang guru yang dimutasi dari tempat asalnya, Tenggarong. Untuk mengabdi di sebuah desa di pinggir kalimatan Timur, yang berpenduduk sekitar 250 orang itu. Desa itu masih di bawah pemerintahan kabupaten Kutai Kartanegara,  dan desa itu adalah salah satu dari sekian banyak desa di kota Bontang.
            Desa itu bernama Berbas Pantai. Mayoritas penduduknya beragama islam, kebanyakan sukunya bugis Makassar dan selebihnya suku jawa. Mata pencaharian penduduknya sebagai Nelayan.
            Ini pertama kalinya ia melihat laut, dan berjalan diatas jembatan kayu. Dia begitu takhzim melihat tempat ini, semoga ia mampu mengembangkan desa ini dengan baik, batinnya.
            Dia terus menyelusuri jalan kayu itu, teriknya matahari tidak menyurutkan langkahnya, untuk melihat ujung dari jembatan ini. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara lantang memanggil seseorang.
            “Bu Guruuuuu….” Ia segera mencari ke arah suara tersebut. Sumber  Suara itu kira-kira sepuluh meter  didepannya. Seorang laki-laki berbadan kekar dan berkulit coklat, berlari-lari kecil dihadapnnya.  Sesampainya Dihadapan kumala
ia terlihat ngos-ngosan, peluh di pelipisnya tidak bisa menyangkal, bahwa pria kekar ini seperti habis ikut lari marathon.
            “Maaf Ibu guru saya terlambat menjemput Ibu Guru, seharusnya Ibu Guru menunggu saja tadi di jalan atas tadi” ucap laki-laki kekar itu dengan nafas masih ngos-ngosan. Melihat tas jinjing yang cukup besar itu, membuatnya segera mengulurkan bantuan untuk membantu mengangkat,
            “Terima kasih dan Maaf sebelumnya, saya tidak biasa menunggu terlalu lama, itu membuat kaki saya keram, jadi saya nekat saja langsung kebawah.” Ucap Kumala dengan penuh penyesalan dan  tegas. Laki-laki itu hanya mengangguk-mengangguk dan tersenyum simpul, terlihat sekali wajahnya  kelelahan sehabis lari.
            “Kenalkan, nama saya Kumala, anda pasti suruhan Pak Andi Ghofur kan?” wanita itu menebak dan mengulurkan tangannya
            “ Iyah benar, saya disuruh pak Ghofur untuk menjemput anda Bu guru”
Ia menjabat tangan itu dengan tegas dan sedikit membungkuk.
            “Nama saya Usman Bu guru” ucapnya kaku
            “ Panggil saya Kumala saja,  dan anda terlalu banyak mengucapkan Bu guru hari ini” laki-laki itu memerah mukanya dan menggaruk-garuk kepalanya.
            “Bagaimana kalau anda segera menghantarkan saya ke rumah pak Andi?” lanjut kumala.
            Sepanjang perjalanan menuju rumah pak Andi Ghofur, Kumala banyak bertanya tentang desa pinggir laut ini. Dari penjelasan Usman, dia sedikit mendapat gambaran tentang masih terbelakangnya pendidikan di desa  ini, anak-anak gadis yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah dasar terpaksa menerima perintah orangtua mereka untuk dinikahkan. Sedangkan anak laki-laki mereka, ketika berusia genap sepuluh tahun sudah ikut ayahnya melaut.
            Sepertinya Kumala mendapat tugas yang tidak mudah kali ini. Lima tahun silam di desa ini, pernah ada guru seperti Kumala yang datang untuk membangun desa pendidikan di desa ini.
            Tapi entah mengapa, setelah dua tahun mengajar guru itu lantas menyerah. Di hari kepergiannya ia sempat bertandang ke rumah pak Andi Ghofur meminta maaf dan mengatakan bahwa desa ini tidak ada harapan. Kalimat itu membuat pak Andi Ghofur seperti tersambar petir disiang bolong, karena pak Andi Ghofur lah satu-satunya orang yang sangat memperjuangkan pendidikan di desa ini.
            Tujuh menit berjalan, mereka akhirnya sampai di rumah pak Andi Ghofur. Kumala memperhatikan rumah di hadapnnya, tercium sekali bau pernis yang melekat pada ulin hitam rumah itu, sepertinya rumah itu baru saja dicat beberapa jam lalu,  langit-langit rumah itu dibuat seperti bentuk kapal terbalik, dan diatas pintu dipajang kepala tengkorak kerbau yang kedua tanduknya berwarna putih susu.
            “Assalamualaikum..” ucap keduanya berasamaan
            “Walaikumsalam,” jawab seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah pak Andi Ghofur, laki-laki paruh baya itu mempersilahkan mereka berdua masuk. Warna pernis menghiasi ruangan,
            Daeng, ini Ibu Guru Kumala yang daeng tunggu dari tadi..” Usman membuka pembicaraan.
            “Tidak perlu kamu kasih tahu ka’ udah tau mi saya kalau ini ibu guru Kumala” suara laki-laki paruh baya itu terdengar penuh wibawa di telinga Kumala
            “Maafkan saya Pak Andi, karena sudah membuat bapak menunggu   lama”
            “Tidak apa-apa Ji bu guru, saya selalu menunggu hari ini,”
            “Bagaimana kabar bapak?”
            “Alhamdulillah sehat-sehat saja, kalau keadaaan pak Mansur bagimana?” Percakapan mereka terus berlanjut, sementara Usman sudah menghilang dari tadi. Ia menghidangkan dua cangkir teh dn setoples kue kering sebelum pergi. Usman adalah adik bungsu dari pak Andi Ghofur, nama lengkapnya Andi Usman.
            Pak Mansur adalah sahabat pak Andi Ghofur, beliau juga seorang guru dan paman dari Kumala. lima tahun lalu, pak Mansur pernah mengunjungi desa ini dengan maksud membangun pendidikan dan mengembangkan desa, namun kedatangan pak Mansur sangat tidak tepat, karena saat itu pula warga desa tidak mau lagi percaya dengan sosok guru. Sampai akhirnya beliau bertemu dengan pak Andi Ghofur yang mau mendengarkannya, karena keadaan desa yang cukup meresahkan membuat pak Mansur menyerah, namun sebelum ia pergi desa itu. Pak Mansur berjanji, lima tahun yang  mendatang, akan  mengirimkan seorang guru ke desa ini. Dan Kumala lah sosok yang beruntung itu, yang telah lama dinantikan kedatangannya.
            Pak Andi Ghofur berdarah bugis Makassar, nama Andi adalah nama keturunan raja Bone,  nama itu disematkan dari nama ayahnya, semua  saudara-saudaranya juga diberikan nama Andi. Namun jika saudara peremupuannya menikah bukan dengan keturunan raja Bone dan mempunyai anak, maka anaknya tidak menggunakan nama Andi lagi. Nama Andi hanya digunakan jika nama ayahnya bermarga Andi juga.
            Beliau adalah salah satu orang yang terpandang di desa itu,mempunyai tiga kapal laut yang cukup besar dengan tiga puluh anak buah yang mengoperasikan kapal miliknya mencari ikan, umur pak Andi Ghofur sudah tidak muda lagi dan memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya menjadi nelayan.
            Pak Andi Ghofur juga menceritakan kejadian yang menimpa desanya lima tahun silam, seperti yang diceritakan Usman tadi. Beliau menceritakannya secara lebih detail. Kumala mendengarkannya dengan tatapan serius bahkan teh yang dihidangkan untuknya tidak tersentuh sedikitpun.
            Setelah mendengar penjelasan dari pak Andi Ghofur, akhirnya ia mengerti mengapa desa ini tidak begitu memerhatikan pendidikan. Kejadian lima tahun silam membuat warga tidak percaya lagi terhadap guru, warga yang awalnya sangat menghormati sosok guru yang mau mengembangkan desanya, malah bersikap sebaliknya karena ulah guru itu. guru yang namanya tidak disebutkan itu telah membuat kerugian yang cukup besar desanya.
            Awalnya guru itu, hanya peduli terhadap pada pendidikan anak-anak di desa itu, tapi melihat potensi ekonomi yang cukup besar di desa itu membuat guru itu turut ikut campur dalam urusan pembangunan desa. Dia mengembangkan keramba-keramba milik warga untuk membudidayakan ikan bandeng, Lobster, dan ikan-ikan lainnya. Hanya dalam waktu satu tahun, desa itu mengalami perkembangan ekenomi yang cukup pesat, warga merasa sangat di untungkan dengan hal itu.
            Dana untuk pembangunan sekolah mengalir dari warga desa.  Namun setelah perkembangan desa yang cukup besar,  dia tidak hanya mengajar tapi juga di beri kepercayaan dalam mendistribusikan hasil tangkapan mereka ke luar kota.
            Singkat cerita, hingga suatu hari guru itu tiba-tiba saja pergi dan yang membuat pak Andi Ghofur tercengang dengan pernyataan guru itu yang mengatakan desa ini tidak ada lagi harapan. Guru itu membawa serta dua pemuda desa, dan  satu kapal milik pak Andi Ghofur.
            Malam menyapa, sang cakrawala kembali ke peraduannya. ini pertama kalinya Kumala menyaksikan Raja siang menghilang di balik lautan. Selama di desa itu, ia tinggal di rumah salah kontrakan pak Andi Ghofur. Karena perjalanan darat tadi yang  memakan waktu delapan jam, membuatnya tidur lelap dalam buaian mimpi, mimpi indah akan masa depan desa ini.
            Keesokan harinya perjuangan dimulai, hal pertama yang ia lakukan adalah mengunjungi sekolah yang letaknya di ujung jembatan. Sungguh memprihatikan melihat sekolah yang terdiri dari tiga kelas itu, atapnya terbuat dari seng yang sudah mulai berkarat. Ia menjelajahi setiap kelas, terdapat banyak jerigen oli di sudut ruangan. Dan lemari-lemari yang berisi buku habis dimakan rayap.
            Kumala langsung mengambil berinisiatif membersihkan ruangannya terlebih dahulu, disela-sela kesibukan Kumala. Usman datang membantunya, ia juga membawa dua kaleng cat. Kumala tersenyum bahagia, pekerjaannya  jadi cukup ringan.
            Singkat cerita kegiatan membersihkan kelas dan mengecat memakan waktu tiga hari. Kumala tak hentinya mengekspresikan kebahagian diwajahnya.
            Hari berikutnya, Ia mendatangi setiap rumah warga yang mempunyai anak-anak Sekolah, sebagian besar warga diminta menolak kedatangan Kumala. Masih trauma kejadian lima tahun silam, meskipun ada beberapa yang mempertimbangkan.
            Yang tak pernah terlupakan dari ingatan Kumala adalah kejadian di rumah Bapak Andi Johan, yang menurut warga sekitar adalah warga terkaya di desa mereka.
Kedatangannya tidak sambut dengan baik, meskipun begitu ia tetap tersenyum dan dengan santun memberikan penjelasan tentang pentingnya anak-anak harus bersekolah.
            “Meskipun saya tidak sekolah, saya tetap bisa kaya, bisa buat kapal, rumah, jadi nggak penting sekali itu sekolah, Orang yang otaknya pintar malah membodohi kami,” Ucap laki-laki paruh baya itu yang merupakan sepupu dari pak Andi Ghofur.
            “Tapi pak, dengan sekolah anak-anak bapak akan mampu lebih kaya dari bapak, anak bapak akan mandiri. Kekayaan harta itu akan habis juga pak, tapi kekayaan ilmu tidak akan pernah habis…” belum selesai Kumala menjelaskan, laki-laki paruh baya itu memotong.
            “Saya yakin kekayaan saya tidak akan pernah habis, Sekolah itu bikin repot saja, cukup anak saya belajar mengaji saja tidak usah lagi belajar-belajar seperti” laki-laki itu menyalakan cerutunya dan menghisapnya dalam. Dia tampak kesal dengan kedatangan Kumala, ini kedatangan Kumala yang ketiga kalinya.
            “ Ilmu agama memang penting pak, tapi ilmu dunia juga sama pentingnya, Pak tolonglah pertimbangkan, saya tahu bapak punya anak usia sekolah..”
            Puang, kapal nomor tiga sudah datang” teriak anak buah kapal dari balik pintu,
            “Sudahlah bu Guru, daripada ibu datang terus ke rumah saya. mending ibu guru menikah saja, daripada sibuk mengurusi sekolah yang…”
            “Kalau begitu saya pamit dulu, besok saya datang lagi, Assalamualaikum” laki-laki itu tercengang melihat reaksi bu guru itu memotong pembicaraannya, ia kemudian tertawa terbahak-bahak meninggalkan ruang tamunya.
            Hari demi hari Kumala mendatangi rumah-rumah warga dan ternyata sedikit membuahkan hasil, dia berhasil mengumpulkan lima anak yang mau belajar atas ijin orangtuanya.  Sampai bulan ketiga, siswa bertambah menjadi sepuluh orang.
            Singkat cerita, sebuah kejadian tak terduga yang membuatnya hampir terusir dari desa itu,  karena pak Andi johan, Ia mendengar anaknya bernama Syarifah datang menemui Kumala untuk belajar, membuat  Pak Andi Johan marah. Ia langsung datang menemui Kumala yang sedang mengajar, sontak Kumala kaget melihat pak Johan datang membawa dua orang anak buahnya yang membawa serta barang-barangnya.
            “Ada apa ini Pak? Kenapa barang-barang saya bisa ada sama bapak” Tanya Kumala dengan perasaan yang campur aduk
            “ Saya sudah pernah bilang bu Kumala, jangan pernah bawa anak saya untuk ikut-ikutan sekolah, lebih baik dia ku nikahkan dia  daripada sekolah tidak jelas begini”
            Pak johan berkata sambil mengayunkan telunjuknya, Syarifah yang duduk barisan paling depan terlihat pucak, peluh dingin membasahi pelipisnya.
            “Bagaimana bisa bapak mengatakan sekolah ini tidak jelas? Lihat anak bapak sekarang, bapak sudah membuat Syarifah ketakutan seperti itu?” Ucap Kumala tak kalah gentar. Ia lalu menebak-nebak kalau kedatangan Pak Andi Johan ini karena penolakan Kumala untuk dijadikan menantunya tempo lalu mungkin telah melukai hatinya.
            “ kalau bapak kesini karena kejadian tempo lalu, sebaiknya masalah itu diselesaikan secara pribadi dengan saya bukan seperti ini” Bapak itu terdiam melihat putri bungsunya ketakutan, tatapannya lalu tertuju kepada Kumala
            “Lebih baik Ibu Kumala segera pergi dari desa ini, jangan pikir ibu bisa membohongi kami lagi, ibu guru seperti anda memang baik diawalnya saja tapi ketika kami lengah bisa saja ibu menjual desa ini” laki-laki itu malah mengalihkan pembicaraan.
            “Apa yang bapak katakana hanya spekulasi bapak saja, saya sudah katakan bahwa saya tidak akan menyerah untuk membangun pendidikan desa ini. Seperti yang bapak lihat..”
            “ahhhh.. anda terlalu banyak berbicara, sebaiknya anda segera pergi dari desa ini, Sunar tarik wanita ini keluar” anak buah itu dengan patuh menjalankan perintah bosnya, ia kemudian ia menarik tangan Kumala dengan kasar.
            Di depan sekolah, warga dengan cemas menyaksikan kejadian yang tak mengenakan itu, tidak ada satupun warga bergerak, karena banyak dari mereka bekerja dengan pak Andi Johan.
            Kumala meronta-ronta kesakitan, sampai sebuah tangan melepaskan tangannya dari cengkramana tangan laki-laki jahat itu. ia adalah Usman, seperti pertama kali bertemu, Usman terlihat tersengal-sengal nafasnya tidak beraturan.
            “Hey.. Usman tidak usah kau ikut campur” Pak Johan yang berdiri di hadapan Usman menunjuk-nunjuk wajah lelaki itu.
            Usman dan Pak Andi Johan saling bersitegang, tak lama setelah itu datanglah pak Andi Ghofur yang melerai. Anak-anak yang tadinya hanya mampu berdiam diri di kelas, berlari menghambur ke arah Kumala.
            “Ibu Guru jangan pergi….” Syarifah memeluk Kumala dengan erat diikuti anak-anak lainnya, jeratin tangisan mereka membuat ketiga orang yang bersitegang itu terdiam menatap anak-anak itu.
            Kumala bangkit, ia seperti baru saja mendapat energi untuk bangit kembali setelah hampir saja putus asah. Ia Menatap pak Johan dengan tajam, lalu mengatakan sesuatu yang membuat Pak Andi Ghofur dan Usman tercengang.
            “ Saya Akan pergi hari ini, tapi dengan satu syarat..” ucapnya dengan seyum khasnya.
            “Katakan saja syaratnya, saya pasti bisa memenuhinya” Pak Johan tampak terlihat semakin emosi, ia seperti dipermainkan wanita muda itu.
            “Bapak harus mendengar apa yang dikatakan anak bapak,”  Kumala lalu membisikan sesuatu ke telingan Syarifah lalu dibalas anggukan, Syarifah kemudian mendekati abahnya dan menyuruhnya sedikit menunduk. Pak Andi Ghofur, Usman, dan warga sekitar menanti apa yang akan terjadi dengan cemas.
            Syarifah membisikan sesuatu ke telinga Abahnya, wajah pak Andi Johan yang awalnya merah padam langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Ia lalu memeluk Syarifah dan mencium ubun-ubun anaknya setelah mendengar kalimat  yang diucapkan Syarifah. Ia kemudian menatap Kumala tanpa ekspresi, ia meninggalkan tempat itu dan menyuruh anak buahnya mengembalikan barang-barang  kumala ke rumahnya.
            Anak-anak langsung berteriak kegirangan memeluk Kumala, bendera kemenangan telah dikibarkan. Sementara pak Andi Ghofur dan Usman menatap bingung, namun kemudian mereka tertawa bersama.
            21 April 2014, 07. 45
            “Kalau mengingat kejadian itu lagi, seperti rasanya baru terjadi kemarin. Namun sekarang kamu sudah menjadi dokter..”Syarifah hanya tersenyum
            “Tapi ngomong-ngomong, apa yang kamu bisikan dengan abahmu waktu itu?, apakah keinginanmu menjadi dokter?’ Syarifah kembali tersenyum, ia mengalihkan pandangannya, kearah jam dinding.
            “Bu guru, sudah jam 07.48 sebaiknya ibu segera ke lapangan.” Syarifah malah mengalihkan pembicaraan.
            “kamu memang pandai untuk mengalihkan pembicaraan”
            Pukul 07.50 upacara dimulai, semua guru-guru perempuan nampak anggun mengenakan pakaian kebayanya dan guru-guru laki tampak gagah dengan baju batiknya. Setelah melewati rangkaian acara upacara, akhirnya Wanita tua yang bernama Kumala itu menyampaikan pesan-pesannya tepat pada hari
            “… buat semua perempuan-perempuan yang ada di sini, Wanita itu lemah tapi hatinya lebih kuat daripada baja, wanita itu mudah menangis tapi airmatanya adalah senjata, wanita itu adalah kalian calon penerus bangsa ini, dan jangan pernah lupakan sosok laki-laki yang berdiri di depan kalian seperti tiang, untuk kalian jadikan pegangan, mereka adalah pondasi kalian..”
             Syarifah memandang Ibu Kumala dari jauh, ia tersenyum mengingat masa sulit itu, betapa sulitnya mengembangkan pendidikan di desa ini. Namun hasil kerja keras dan keringat ibu Kumala, pendidikan di desa ini menjadi maju.
            “Sampai sekarang ibu tidak tahu apa yang saya bisikan kepada Abah waktu itu” gumamnya
            Kumala membisikan sesuatu  ke telinga Syarifah, “Ipah, ucapkanlah keinginannmu kepada Abahmu, maka  ibu tidak akan pergi dari sini”
            Syarifah membisikan sesuatu ke telinga Abahnya, wajah pak Andi Johan yang awalnya merah padam langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Ia lalu memeluk Syarifah dan mencium ubun-ubun anaknya setelah mendengar kalimat  yang diucapkan Syarifah. Ia kemudian menatap Kumala tanpa ekspresi, ia meninggalkan tempat itu dan menyuruh anak buahnya mengembalikan barang-barang  kumala ke rumahnya.
            Abah, saya ingin menjadi dokter. Ijinkan saya merawat ummi. Suatu hari nanti saya akan menemukan obat yang bisa menyembuhkan penyakit ummi.”  

Nama : Yuliana
Kelas: A PAgi 2011
Judul Cerpen: Kumala




Tidak ada komentar:

Posting Komentar